Kamis, 14 Februari 2008

Husnul Vs Su'ul


Husnul Vs Su’ul


Manusia tidak bisa memilih ending hidupnya. Artinya seseorang tak mampu untuk mati dalam keadaan seperti yang diinginkannya. Kalaulah bisa, mungkin orang akan memilih mati dalam kondisi yang paling nyaman menurutnya. Maka mungkin ia akan memilih mati dalam keadaan shalat, membaca Al-Quran, atau wiridan, misalnya.

Dan ia pasti juga akan minta agar malaikat Izrail mencabut nyawanya dengan sangat pelan-santai dan terasa enjoylah gitu. Atau permintaan lain, mungkin orang tadi juga minta diberi warning (peringatan) oleh malaikat dua tahun atau minimal 1 tahun, sebelum ajal menjemput, agar ia bisa bersiap-siap untuk taubatan nashuha.

Permintaan lain adalah agar malaikat juga memberitahukan kala perhitungan pahala-dosa orang tadi hampir impas. Agar orang tersebut bisa menambahi amal kebaikannya plus taubatan nashuha. Itulah gambaran contoh-contoh permisalan bila seorang manusia bisa menentukan memilih ending hidupnya.

Seorang yang terkondisikan hidup dalam suasana agamis dalam aktifitas kehidupan sehari-hari pun bisa jadi ending hidupnya berakhir dengan su’ul khatimah. Walaupun sejak kecil ia dipersiapkan oleh ortunya dan lingkungannya agar jadi manusia santri, bisa jadi hidupnya berakhir su’ul khatimah.

Ada juga yang sejak lahir sampai dewasa brangasan dan “mbajing”(bajingan-bermental penjahat) bisa saja hidupnya berakhir husnul khatimah. Mau pilih jadi manusia yang bagaimana?. Tentunya manusia yang istiqamah dong. Yang sejak kecil sampai akhir hayatnya terus meniti shiratal mustaqim. Tapi itu adalah konsep ideal yang pasti sulit toek dijalani, namun manusia wajib berusaha terus.

Pembahasan tentang ending hidup anusia, ternyata cukup kompleks. Antara husnul dan su’ul khatimah, masih bisa dipecah menjadi beberapa kategori lagi. Bisa secara kontekstual-empiris maupun implisit-metafisis.

Pengertian yang pertama adalah : apabila secara indrawi menusia tadi kelihatan jelas mati secara baik. Misal sedang shalat, mengaji atau berceramah lalu meninggal. Dan pengertian secara implisit-metafisis adalah lebih hakiki : yaitu ditinjau dari kalkulasi pahala dan dosa. Bisa juga dari kriteria yang lain, apakah ia meninggal dalam kondisi dekat (maqam) ataukah jauh dari Allah SWT.

Orang yang mati husnul khatimah secara kontekstual-empiris, belum tentu ia termasuk juga husnul khatimah secara implisit-metafisis. Yang menjadi agenda permasalahn abadi adalah, bagaimana kita sebagai manusia biasa ini, selalu berusaha untuk mencapai sakaratul maut dengan husnul khatimah, baik secara kontekstual-empiris dan juga implisit-metafisis.

Hanya orang-orang yang istiqamah-lah, yang kayaknya mampu mendekati kondisi ideal tadi. Orang-orang dikala mengalami kondisi dan cobaan macam apapun, ia selalu berusaha ingat Allah SWT, untuk mencoba taqarrub, selalu bersyukur, selalu introspeksi diri, melakukan muhasabah dan beristighfar. Saat hati susah, senang, cemas, galau, berusaha ingat Allah. Saat kaya, melarat, bangkrut, pailit, selalu dekat Allah. Saat sakit, maupun sehat, selalu bersyukur kepada Allah SWT.

Suatu hasil yang baik, pastilah dicapai dengan proses yang berat bukan?. Tapi itulah kehidupan. Kita ini masih di dunia lho. Jadi masihlah harus sabar toek jalani cobaan hidup apapun juga. Lalu Anda akan memilih ending hidup yang bagaimana? Semua terserah Anda!

Surabaya, Kedondong Kidul, Pk 00.17
Minggu, 16 Maret 1997
7 Dzulqaidah 1417 H

Tidak ada komentar: